Disinilah kami berada, pantai
liwungan, indah, bersih, dan sejuk. Aku menyukai tempat ini. Sungguh. Tenang,
jauh dari kebisingan kota atau keramaian, sejuk dan damai, itulah yang aku
sukai. Namun rasanya semuanya agak sedikit berbeda, mengingat semester 1 saat
kemping di hutan, aku ditemani orang yang aku sayang, kekasihku. Namun saat di
pantai ini aku sendirian, walaupun masih ada sosok dia. Dia yang belum sanggup
aku lupakan.
**
“Aku kedinginan.” Ucapku padanya
Tanpa kata, dia langsung memegang
erat tanganku. Aku sangat suka genggaman tangannya. Hangat. Hangatnya menjalar
ke tubuhku.
Malam itu memang hujan di hutan,
aku masuk ketenda bersama dia dan teman-temannya. Dan aku masih saja
kedinginan. Suhunya mungkin 18 derajat disana. Benar-benar dingin. Dia
membaluti tubuhku dengan sleeping bagnya. Hangat. Bersama dia juga. Lalu kami
bersembunyi dibawah sleeping bag. Disana sangat hangat. Dibawah sleeping bag.
Lalu dia memainkan korek apinya. “Nih, tangan kamu di atas api ini, biar
tangannya ga kedinginan lagi.” Ucapnya padaku. “Panas, jangan kenain apinya ke
tangan aku dong, ntar kebakar gimana?” Keluhku. “Ga bakalan lah, masa aku mau
bakar kamu sih?.” Ucapnya. Aku suka kekonyolan yang dia ciptakan untuk membuat
aku tersenyum. “Eh main abc 5 dasar yuk.” Dia mengajak ku bermain, masih di
dalam sleeping bag. Salah satu temannya justru menertawai kami, “Gas, orang tuh
ya pacaran ngapain gitu, ini malah main abc 5 dasar, hahaha. Emang gila kalian
berdua.” “Yaampun, gapapa kali. Seru kan ya Rin main abc 5 dasar.” Ucap Bagas.
Masih di bawah sleeping bag, aku memeluk tangannya yang hangat. “Kenapa kamu
hangat banget?” tanyaku. “Gak tahu mungkin diciptakan buat menghangatkan kamu
kali.” Ucapnya padaku. Aku hanya mampu tersenyum.
**
Saat tiba kami tidak langsung
istirahat, terlebih dahulu mendirikan tenda di tepi pantai, menyiapkan lampu
minyak sebagai penerangan, lalu menyiapkan makan untuk makan malam kami,
memasak makanan sederhana yang matang ataupun tidak matang harus kami makan
seadanya, untuk mengisi perut kami. Saat yang lain masih sibuk untuk makan bersama,
aku dan kelompokku sudah selesai duluan, karena kami hanya memasak nasi dan
tempe goreng. Sederhana. Namun indah.
Aku memilih agak menjauh dari
kerumbunan mereka, sedikit ke bibir pantai, menikmati angin yang tenang,
melihat matahari yang akan tenggelam. Sungguh, aku ingin sekali merasakan
melihat matahari yang akan tenggelam bersama orang yang aku sayang, namun
rasanya sudah tidak mungkin. Saat sunset itu tiba, yang lain juga bergegas
menuju bibir pantai untuk menikmati sunset. Sungguh indah. Aku sempat melirik
ke dia, yang sedang bercanda tawa dengan temannya sambil menikmati sunset.
“Seandainya saja aku berada di sampingmu saat ini.” ucapku dalam hati. Malam
tiba. Banyak yang sudah masuk ke tenda untuk istirahat. Aku menggelar matras
untuk tiduran di tepi pantai dan mengenakan sleeping bag yang aku bawa dari
rumah agar tidak kedinginan, agak menjauh dari tempat kemping. Sekedar untuk
tiduran menatap langit yang penuh dengan bintang walaupun gelap. Dan dia sudah
di dalam tenda, entah apa yang dilakukan, mungkin sedang istirahat, atau
bercanda tawa dengan temannya atau memikirkanku seperti yang sedang aku
lakukan? Entahlah.
Satu temanku menghampiriku.
“Sendirian aja lu?” ucap dia. “Iya nih. Temenin gua lah lid.” Ucapku. Lidia
namanya. “Mikirin apa sih rin?” katanya. “Hah? Mikirin apa emang? Kaga. Ini
lagi liatin bintang Lid, bagus banget.” Ucapku. Lalu ada keheningan diantara
kita. “Masih sayang rin?” Ucapnya mengagetkan ku. Aku menghembuskan nafas
panjang. “Jangan bilang kalau kita tidak mencintainya lagi, jika kita tidak
sanggup untuk melupakan. Iyalah lid, walaupun cuma 7 bulan, sayang gue ama dia
bener-bener sayang. Dia yang paling terbaik yang pernah gue milikin. Gue masih
sayang banget. Rasa gue belum hilang ataupun berkurang.” Ucapku. “Rin, gue ngantuk.”
Ucapnya. “Dari tadi gue curhat dan lu ngantuk? Yaudah tidur aja lid, gue ntar
tidurnya nyusul.” Ucapku.
Aku melirik Lidia yang sudah
terlelap dan aku masih saja terjaga untuk melihat indahnya bintang. Perlahan
kantuk mulai datang menghampiri. Aku lihat arloji ku sudah menunjukan jam
11.30. Dan aku tertidur di bibir pantai, bersama temanku, Lidia.
Aku terbangun saat suara burung
berkicau dengan keras. Aku membuka mata dan melihat jam tangan yang melingkari
tanganku. Jam 4.30. Aku melihat matahari mulai terbit, sungguh indah. Dan aku
memilih untuk terbangun menikmati sunrise. Jarang-jarang aku menikmati sunrise
langsung dari alamnya. Lidia masih tertidur, aku tak mau membangunkannya.
Biarkan aku menikmati indahnya sunrise. Sendiri. “Seandainya gue nikmatin
sunrise ini bareng sama lo sekarang.” Ucapku dalam hati. Perasaan seandainya
itupun selalu muncul disaat seperti ini. Seandainya dia disini, seandainya dia
di sampingku sekarang, dan seandainya dia tahu bahwa sekarang dialah yang
sedang aku fikirkan. Jatuhlah sang airmata. Entah apa yang aku tangisi, aku tak
tahu. Setelah menikmati sunrise, sekitar jam 6 aku bersiap-siap untuk memasak.
Setelah makan pagi, aku memilih masuk ke tenda dan tidur melanjutkan tidurku
yang sangat kurang. Aku terbangun, melirik jam tangan. Jam 8.30. Aku keluar
dari tenda, ternyata ada yang sedang mandi di pantai, ada yang memancing
bersama kakak pembinanya, ada yang ngobrol. Dan aku sendirian duduk di tepi
pantai, menjauh dari keramaian. Aku menggunakan waktuku untuk berbincang dengan
hati dan fikiran. Aku tidak mood untuk ikutan bergossip. Aku hanya ingin
sendirian. Sendiri. Berbincang dengan hati dan fikiran. Apa yang salah dengan
hubungan aku dan dia? Aku sempat melirik ke arah dia, dan seperti biasa, dia
sedang bercanda tawa dengan teman-temannya. Tidakkah aku sempat terlintas di
fikirannya? Entah.
Aku sayang dia. Dia sayang aku.
Namun mengapa kita berpisah? Apa yang salah? Aku sungguh tak mengerti. Sungguh
benar tak mengerti. Tak ada yang salah, namun mengapa harus berhenti sampai
disini?
Dan pada akhirnya aku tak
mendapatkan jawaban dari apa yang aku pertanyakan. Aku berbaring di matras.
Menikmati angin dengan tenang. Aku terbangun dan sedikit bermain dengan air
pantai. Hangat. “Seandainya lo disini temenin gue.” Ucapku dalam hati. Hari ini
benar-benar tak enak. Aku melewatkan hari ini sendirian. Benar-benar sendirian.
Tak ada canda tawa dia lagi. Tak ada jailan dia lagi. Tak ada. Semuanya sudah
tak ada. Hingga sore hari aku hanya sendirian, walau banyak teman-teman yang mengajak
aku untuk bergabung, namun sepertinya raga ini ingin sendiri.
Sore pun tiba, dan kami juga
sedang menyiapkan untuk makan malam. Setelah selesai masak, aku memilih makan
di tepi pantai sambil menikmati sunset lagi. Walaupun hanya makan sedikit,
rasanya sudah kenyang jika dinikmati bersama sunset. Dan malam harinya, kakak
pembinanya mengadakan api unggun, kita melingkari api unggun. Dia tepat berada
di sebrang aku, mau tak mau aku harus melihatnya. Aku sedih, aku ingin
menangis, namun sepertinya tak mungkin aku menangis disaat seperti ini. Aku
menangis dalam hati. Sempat aku menundukkan kepala, membiarkan sang airmata
jatuh ke pasir, dan aku menegakkan kepala untuk menghapus sisa air mata di
mataku. Acara api unggun ini berlangsung sekitar 1.5 jam, dan selama itu pun
aku memandangi dia. Rasanya dada ini sesak, karena aku harus menatap orang yang
dulu pernah begitu aku sayangi. Acaranya
pun hanya sharing tentang apa yang dirasakan. Setelah selesai acara, yang
lainnya memilih masuk ke tenda, dan lagi-lagi aku memilih duduk di bibir pantai
sendirian.
“Ko sendirian aja sih dari tadi
siang?” Ucap dia
“Hah? Kaget aku. Iya. Disini enak.
Tenang. Aku suka.” Ucapku
“Duduk sebelah kamu boleh?” Kata
dia
“Bolehlah, siapa juga yang
ngelarang.” Ucapku. Di bawah rembulan dan cahaya bintang-bintang, aku berbaring
di alas, semakin menikmati bintang-bintang. Dia pun ikut berbaring di sebelah
kananku.
“Perasaan kamu ke aku gimana
Rin?” ucapnya
Ucapnya mengagetkanku. “Hah?” aku
pura-pura tak mendengar, aku ingin dia mengulang pertanyaannya. “Perasaan kamu
ke aku gimana sekarang?” Ulang dia. Aku menghela nafas sangat panjang,
memberanikan diri, mengatakan apa yang sebenarnya aku rasakan. “Sebelum udahan,
pas udahan, maupun setelah udahan, perasaan aku ke kamu masih tetep sama ko.
Masih tetep sayang sama kamu. Kamu gimana?” ucapku jujur
“Kenapa rin?” Tanyanya. “Gak tau.
Mungkin suatu saat bisa berubah…..”
“Gak mungkin Rin.” Katanya
memotong perbincanganku. “Aku tau Gas, emang ga mungkin…”
“Kamu itu...” dia memotong
ucapanku lagi, “Terlalu baik buat kamu, kamu ga bisa jadi yang terbaik buat
aku, kamu takut bawa pengaruh buruk buat aku, aku bisa dapetin orang yang lebih
baik dari kamu, kamu itu masih anak kecil ga pantes buat aku.” Ucapku memotong
ucapannya. “Itu semua kan Gas alasannya? Aku rela ngelepasin kamu bukan karena
aku udah ga sayang, kamu selalu bilang kaya gitu Gas, aku jadi ngerasa kalo aku
itu beban buat kamu kalo kamu selalu mikir kaya gitu. Bagas, suatu saat kamu
pasti ngerti kenapa aku milih bertahan pas kemaren-kemaren kamu minta udahan.
Jujur aja perasaan aku ke kamu ga pernah berubah. Tapi kalo kamu merasa kamu
akan bahagia tanpa aku, aku bisa relain itu walaupun ngorbanin perasaan aku
sendiri.”
“Maaf Rin.” Katanya. “Gak ada
yang salah ko Gas disini.” Ucapku lirih.
Aku menghembuskan nafas yang
panjang. “Kalau suatu hari nanti aku melihat kamu bahagia sama yang lain,
jangan pernah lupain cerita tentang kita yah. Pernah ada aku dan kamu yang
menjadi kita. Kita sama-sama pernah berbincang tentang cinta. Kita pernah
saling merasakan apa itu bahagia, apalagi saat kamu ada di sisi aku. Kita
pernah saling merasa takut kehilangan. Aku belum mau untuk melupakan kamu,
walau itu harus aku lakukan. Biar waktu yang menjawab kapan aku akan melupakan
semuanya.” Ucapku menahan tangis.
Dia menggenggam tangan kanan aku.
Aku menatap genggaman tangan kita.
“Semoga ada yang lebih pantas
mengisi ruang kosong di jemari kamu yah. Aku pasti akan rindu genggaman hangat
tangan kamu. Semoga orang yang mengisi ruang kosong di jemari kamu, orang yang
bisa membahagiakan kamu seutuhnya, tak pernah mengecewakan kamu, selalu ada
disaat kamu membutuhkan. Ini bakalan jadi genggaman terakhir untuk jemari aku
juga. Aku tidak bisa menikmati hangatnya genggaman kamu yang menjalar hangat di
tanganku lagi. Bagas, I love you. Aku gak minta kamu untuk ucapin balik, tapi
itu yang aku rasain sekarang. Aku kangen kamu. Tapi aku tahu aku tak berhak
merindukan kamu lagi.” Ucapku padanya.
Dia hanya terdiam, yang aku
rasakan adalah makin erat genggaman tangannya terhadap jemariku. Aku bisa
merasakan hangatnya yang menjalar di tanganku. Aku merindukan itu. Aku ingin
menangis sekarang. Hanya ingin menangis.
Di bawah sinar rembulan dan
bintang-bintang, aku dan kamu yang dulu pernah menjadi kita, kini bersama,
namun tanpa ada ikatan tanpa ada hubungan, tanpa ada status. Hanya memperjelas.
Kita terbaring bersama saling menyelami rasa. Aku sudah jujur tentang semuanya.
Namun dia hanya bisa terdiam. Aku bisa melihat di sudut matanya tergenang air,
namun dia tak ingin mengeluarkannya di depanku. Dan aku hanya bisa menangis
dalam hati. Menahan semuanya. Dan akan tumpah saat dia bangun berdiri saat dia
tidak berada di sampingku lagi.
**
Bagas Dirgantoro. Dia yang
mengisi hati dan hari-hariku selama kurang lebih 7 bulan. 7 bulan 2 hari
tepatnya. Walau aku jalani hubungan dengannya hanya setengah tahun lebih, aku
sangat menyayanginya. Entah alasan apa mengapa aku bisa begitu menyayanginya,
tidak ada yang pernah tahu. Hanya aku. Aku rindu gelak tawanya yang biasanya
mengisi hariku, aku rindu genggaman dan pelukan hangat dari tubuhnya. Dia amat
biasa. Sangat biasa. Tapi dia mampu membuat hari ku menjadi luar biasa. Namun
semuanya harus berakhir sampai disini. Bukan aku yang memutuskan, namun dia.
Mungkin kali ini yang terbaik untuknya, aku hanya ingin dia bahagia, walau
bukan bersamaku. Aku mengiyakan dan merelakan dia tak berada di sampingku lagi.
Aku rela asalkan dia bahagia.
**
Dia menemaniku sampai jam 10
malam dari jam 7 malam. Yang terjadi hanya perbincangan biasa, namun jujur aku
sangat merindukan perbincangan aneh yang dia ciptakan, dia masih mampu membuat
aku tersenyum. Aku melihat ke arahnya saat dia sedang memejamkan mata. Aku
melihat apa yang berubah dari setiap lekuk wajahnya. Dan aku masih saja menatap
satu titik yang paling aku sukai dari wajahnya, yaitu matanya. Mata indah
dengan bulu mata lentik. Jadi ingat pertama kali kami dekat dan pertama kali
aku berbincang dengannya, pertama kali yang aku lihat adalah matanya. Dan aku
menemukan keindahan disana. Dia masih terpejam mata. Aku buru-buru berpaling
dari wajahnya. Aku takut dia sadar bahwa aku tengah menikmati matanya bagian
yang aku sukai. Aku menatap ke awan dan bintang-bintang lagi. Setelah jam 10
dia bangkit dan pergi meninggalkan ku untuk tidur di tenda. Dan aku tetap tidur
dibawah sinar bintang-bintang dan rembulan. Dia sempat mengajak ku untuk
bergabung dengan yang lain untuk tidur bersama, namun aku menolaknya dan
memilih untuk tetap di bibir pantai. Aku menangis. Airmata ini tumpah, aku tak
sanggup menampungnya. Aku tak mendapat jawaban apakah dia masih menyayangiku
atau tidak, hanya dia yang tahu. Namun aku percaya, dia masih sayang denganku,
tapi dia tak ingin membuat aku lebih bersedih lagi dengan pengakuannya.
Besok aku akan meninggalkan
pantai ini untuk kembali ke Bogor. Jam 11 malam aku baru tidur. Dan besok
adalah hari terakhir aku melihat sunrise sendirian lagi.
Jam 4.30 aku terbangun, dan aku
bangun. Aku melihat di sekitar, belum ada yang bangun. Mengapa orang-orang
tidak bangun? Padahal kan sunrise itu bagus. Lagi-lagi aku menikmati sunrise
sendirian lagi. Tapi aku menikmatinya. Saat sunrise mulai muncul dari ufuknya,
aku serius mengamati. Tiba-tiba seseorang duduk di sebelahku. Bagas. Dia yang
duduk di sebelahku.
“Bagus ya Rin sunrisenya?”
ucapnya
“Banget Gas, aku suka banget.
Dari kemarin aku menikmati sunrisenya tau.” Ucapku padanya
Lalu dia duduk tepat disebelahku.
“Ih, ko ga ngajak-ngajak sih Rin?
Padahal kan aku juga pengen liat sunrise.” Katanya
Aku terkekeh. “Kan masih pada
tidur, aku ga enaklah ngebangunin.” Ucapku
Dia diam. Aku terdiam. Kami
sama-sama terdiam, menikmati sunrise, mengamati matahari dan perubahan awan
gelap menjadi cerah, garis-garis hitam awan kian memudar.
“Akhirnya kesampean juga.” Ucapku
memecah keheningan
“Kesampean apa Rin?” Tanya dia
penasaran
“Menikmati sunrise bareng orang
yang aku sayang, walaupun udah ga ada hubungan apapun. Dari dulu aku pengen
banget nikmatin sunrise atau sunset bareng orang yang aku sayang. Dan sekarang
udah tercapai, walaupun tanpa status. Tapi aku seneng.” Ucapku
Sekali lagi dia hanya mampu
terdiam, dia tak mengucapkan satu patah katapun.
Sinar bintang dan rembulan sudah
mulai hilang seiring matahari yang sudah meninggi. Aku bahagia menikmati
sunrise dan sunset.
Saat matahari mulai meninggi
banyak yang sudah bangun, dan menelan kekecewaan karena tidak menikmati
sunrise. Dan banyak yang sudah bersiap-siap membereskan barang-barangnya dan
bersiap-siap untuk pulang.
Dan aku menikmati pantai sekali
lagi sebelum benar-benar meninggalkan pantai ini. Pantai indah, sejuk, tenang
dan damai. Terima kasih telah mendengarkan bisikan hatiku yang aku sampaikan
padamu di dalam hatiku. Semoga apa yang telah aku tuangkan ke pantai ini dapat
berhembus mengikuti arah angin.
Cerita ini hanya fiktif belaka. Namanya juga lagi belajar nulis.
Cerita ini hanya fiktif belaka. Namanya juga lagi belajar nulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar