Kamis, 16 Mei 2013

Bintang, Pantai dan Kita




2 malam kedepan aku akan berada disini. Sendirian tanpa ada sosok dia lagi seperti yang dilakukannya saat kemping di hutan, menemaniku. Akhirnya kami tiba di pantai liwungan di daerah banten setelah 6jam perjalanan dari bogor. Kami tiba disana saat sore hari, padahal kami berangkat sudah pagi. Berangkat jam 9 dan sampai disana jam 3 sore. Namun jalanan yang macet ditambah kita yang ngaret. Seperti biasa, anak remaja. Ingin rasanya langsung melepas lelah, namun kami harus membangun tenda beserta terpal agar kami bisa istirahat. Kami merupakan dari kelompok pecinta alam sekolah kami. Setiap semester diadakan kemping, semester pertama ke hutan, lalu semester 2 ke pantai. Dan kami sudah memasuki semester 2.
Disinilah kami berada, pantai liwungan, indah, bersih, dan sejuk. Aku menyukai tempat ini. Sungguh. Tenang, jauh dari kebisingan kota atau keramaian, sejuk dan damai, itulah yang aku sukai. Namun rasanya semuanya agak sedikit berbeda, mengingat semester 1 saat kemping di hutan, aku ditemani orang yang aku sayang, kekasihku. Namun saat di pantai ini aku sendirian, walaupun masih ada sosok dia. Dia yang belum sanggup aku lupakan.
**
“Aku kedinginan.” Ucapku padanya
Tanpa kata, dia langsung memegang erat tanganku. Aku sangat suka genggaman tangannya. Hangat. Hangatnya menjalar ke tubuhku.
Malam itu memang hujan di hutan, aku masuk ketenda bersama dia dan teman-temannya. Dan aku masih saja kedinginan. Suhunya mungkin 18 derajat disana. Benar-benar dingin. Dia membaluti tubuhku dengan sleeping bagnya. Hangat. Bersama dia juga. Lalu kami bersembunyi dibawah sleeping bag. Disana sangat hangat. Dibawah sleeping bag. Lalu dia memainkan korek apinya. “Nih, tangan kamu di atas api ini, biar tangannya ga kedinginan lagi.” Ucapnya padaku. “Panas, jangan kenain apinya ke tangan aku dong, ntar kebakar gimana?” Keluhku. “Ga bakalan lah, masa aku mau bakar kamu sih?.” Ucapnya. Aku suka kekonyolan yang dia ciptakan untuk membuat aku tersenyum. “Eh main abc 5 dasar yuk.” Dia mengajak ku bermain, masih di dalam sleeping bag. Salah satu temannya justru menertawai kami, “Gas, orang tuh ya pacaran ngapain gitu, ini malah main abc 5 dasar, hahaha. Emang gila kalian berdua.” “Yaampun, gapapa kali. Seru kan ya Rin main abc 5 dasar.” Ucap Bagas. Masih di bawah sleeping bag, aku memeluk tangannya yang hangat. “Kenapa kamu hangat banget?” tanyaku. “Gak tahu mungkin diciptakan buat menghangatkan kamu kali.” Ucapnya padaku. Aku hanya mampu tersenyum.
**
Saat tiba kami tidak langsung istirahat, terlebih dahulu mendirikan tenda di tepi pantai, menyiapkan lampu minyak sebagai penerangan, lalu menyiapkan makan untuk makan malam kami, memasak makanan sederhana yang matang ataupun tidak matang harus kami makan seadanya, untuk mengisi perut kami. Saat yang lain masih sibuk untuk makan bersama, aku dan kelompokku sudah selesai duluan, karena kami hanya memasak nasi dan tempe goreng. Sederhana. Namun indah.
Aku memilih agak menjauh dari kerumbunan mereka, sedikit ke bibir pantai, menikmati angin yang tenang, melihat matahari yang akan tenggelam. Sungguh, aku ingin sekali merasakan melihat matahari yang akan tenggelam bersama orang yang aku sayang, namun rasanya sudah tidak mungkin. Saat sunset itu tiba, yang lain juga bergegas menuju bibir pantai untuk menikmati sunset. Sungguh indah. Aku sempat melirik ke dia, yang sedang bercanda tawa dengan temannya sambil menikmati sunset. “Seandainya saja aku berada di sampingmu saat ini.” ucapku dalam hati. Malam tiba. Banyak yang sudah masuk ke tenda untuk istirahat. Aku menggelar matras untuk tiduran di tepi pantai dan mengenakan sleeping bag yang aku bawa dari rumah agar tidak kedinginan, agak menjauh dari tempat kemping. Sekedar untuk tiduran menatap langit yang penuh dengan bintang walaupun gelap. Dan dia sudah di dalam tenda, entah apa yang dilakukan, mungkin sedang istirahat, atau bercanda tawa dengan temannya atau memikirkanku seperti yang sedang aku lakukan? Entahlah.
Satu temanku menghampiriku. “Sendirian aja lu?” ucap dia. “Iya nih. Temenin gua lah lid.” Ucapku. Lidia namanya. “Mikirin apa sih rin?” katanya. “Hah? Mikirin apa emang? Kaga. Ini lagi liatin bintang Lid, bagus banget.” Ucapku. Lalu ada keheningan diantara kita. “Masih sayang rin?” Ucapnya mengagetkan ku. Aku menghembuskan nafas panjang. “Jangan bilang kalau kita tidak mencintainya lagi, jika kita tidak sanggup untuk melupakan. Iyalah lid, walaupun cuma 7 bulan, sayang gue ama dia bener-bener sayang. Dia yang paling terbaik yang pernah gue milikin. Gue masih sayang banget. Rasa gue belum hilang ataupun berkurang.” Ucapku. “Rin, gue ngantuk.” Ucapnya. “Dari tadi gue curhat dan lu ngantuk? Yaudah tidur aja lid, gue ntar tidurnya nyusul.” Ucapku.
Aku melirik Lidia yang sudah terlelap dan aku masih saja terjaga untuk melihat indahnya bintang. Perlahan kantuk mulai datang menghampiri. Aku lihat arloji ku sudah menunjukan jam 11.30. Dan aku tertidur di bibir pantai, bersama temanku, Lidia.
Aku terbangun saat suara burung berkicau dengan keras. Aku membuka mata dan melihat jam tangan yang melingkari tanganku. Jam 4.30. Aku melihat matahari mulai terbit, sungguh indah. Dan aku memilih untuk terbangun menikmati sunrise. Jarang-jarang aku menikmati sunrise langsung dari alamnya. Lidia masih tertidur, aku tak mau membangunkannya. Biarkan aku menikmati indahnya sunrise. Sendiri. “Seandainya gue nikmatin sunrise ini bareng sama lo sekarang.” Ucapku dalam hati. Perasaan seandainya itupun selalu muncul disaat seperti ini. Seandainya dia disini, seandainya dia di sampingku sekarang, dan seandainya dia tahu bahwa sekarang dialah yang sedang aku fikirkan. Jatuhlah sang airmata. Entah apa yang aku tangisi, aku tak tahu. Setelah menikmati sunrise, sekitar jam 6 aku bersiap-siap untuk memasak. Setelah makan pagi, aku memilih masuk ke tenda dan tidur melanjutkan tidurku yang sangat kurang. Aku terbangun, melirik jam tangan. Jam 8.30. Aku keluar dari tenda, ternyata ada yang sedang mandi di pantai, ada yang memancing bersama kakak pembinanya, ada yang ngobrol. Dan aku sendirian duduk di tepi pantai, menjauh dari keramaian. Aku menggunakan waktuku untuk berbincang dengan hati dan fikiran. Aku tidak mood untuk ikutan bergossip. Aku hanya ingin sendirian. Sendiri. Berbincang dengan hati dan fikiran. Apa yang salah dengan hubungan aku dan dia? Aku sempat melirik ke arah dia, dan seperti biasa, dia sedang bercanda tawa dengan teman-temannya. Tidakkah aku sempat terlintas di fikirannya? Entah.
Aku sayang dia. Dia sayang aku. Namun mengapa kita berpisah? Apa yang salah? Aku sungguh tak mengerti. Sungguh benar tak mengerti. Tak ada yang salah, namun mengapa harus berhenti sampai disini?
Dan pada akhirnya aku tak mendapatkan jawaban dari apa yang aku pertanyakan. Aku berbaring di matras. Menikmati angin dengan tenang. Aku terbangun dan sedikit bermain dengan air pantai. Hangat. “Seandainya lo disini temenin gue.” Ucapku dalam hati. Hari ini benar-benar tak enak. Aku melewatkan hari ini sendirian. Benar-benar sendirian. Tak ada canda tawa dia lagi. Tak ada jailan dia lagi. Tak ada. Semuanya sudah tak ada. Hingga sore hari aku hanya sendirian, walau banyak teman-teman yang mengajak aku untuk bergabung, namun sepertinya raga ini ingin sendiri.
Sore pun tiba, dan kami juga sedang menyiapkan untuk makan malam. Setelah selesai masak, aku memilih makan di tepi pantai sambil menikmati sunset lagi. Walaupun hanya makan sedikit, rasanya sudah kenyang jika dinikmati bersama sunset. Dan malam harinya, kakak pembinanya mengadakan api unggun, kita melingkari api unggun. Dia tepat berada di sebrang aku, mau tak mau aku harus melihatnya. Aku sedih, aku ingin menangis, namun sepertinya tak mungkin aku menangis disaat seperti ini. Aku menangis dalam hati. Sempat aku menundukkan kepala, membiarkan sang airmata jatuh ke pasir, dan aku menegakkan kepala untuk menghapus sisa air mata di mataku. Acara api unggun ini berlangsung sekitar 1.5 jam, dan selama itu pun aku memandangi dia. Rasanya dada ini sesak, karena aku harus menatap orang yang dulu pernah begitu aku sayangi.  Acaranya pun hanya sharing tentang apa yang dirasakan. Setelah selesai acara, yang lainnya memilih masuk ke tenda, dan lagi-lagi aku memilih duduk di bibir pantai sendirian.
“Ko sendirian aja sih dari tadi siang?” Ucap dia
“Hah? Kaget aku. Iya. Disini enak. Tenang. Aku suka.” Ucapku
“Duduk sebelah kamu boleh?” Kata dia
“Bolehlah, siapa juga yang ngelarang.” Ucapku. Di bawah rembulan dan cahaya bintang-bintang, aku berbaring di alas, semakin menikmati bintang-bintang. Dia pun ikut berbaring di sebelah kananku.
“Perasaan kamu ke aku gimana Rin?” ucapnya
Ucapnya mengagetkanku. “Hah?” aku pura-pura tak mendengar, aku ingin dia mengulang pertanyaannya. “Perasaan kamu ke aku gimana sekarang?” Ulang dia. Aku menghela nafas sangat panjang, memberanikan diri, mengatakan apa yang sebenarnya aku rasakan. “Sebelum udahan, pas udahan, maupun setelah udahan, perasaan aku ke kamu masih tetep sama ko. Masih tetep sayang sama kamu. Kamu gimana?” ucapku jujur
“Kenapa rin?” Tanyanya. “Gak tau. Mungkin suatu saat bisa berubah…..”
“Gak mungkin Rin.” Katanya memotong perbincanganku. “Aku tau Gas, emang ga mungkin…”
“Kamu itu...” dia memotong ucapanku lagi, “Terlalu baik buat kamu, kamu ga bisa jadi yang terbaik buat aku, kamu takut bawa pengaruh buruk buat aku, aku bisa dapetin orang yang lebih baik dari kamu, kamu itu masih anak kecil ga pantes buat aku.” Ucapku memotong ucapannya. “Itu semua kan Gas alasannya? Aku rela ngelepasin kamu bukan karena aku udah ga sayang, kamu selalu bilang kaya gitu Gas, aku jadi ngerasa kalo aku itu beban buat kamu kalo kamu selalu mikir kaya gitu. Bagas, suatu saat kamu pasti ngerti kenapa aku milih bertahan pas kemaren-kemaren kamu minta udahan. Jujur aja perasaan aku ke kamu ga pernah berubah. Tapi kalo kamu merasa kamu akan bahagia tanpa aku, aku bisa relain itu walaupun ngorbanin perasaan aku sendiri.”
“Maaf Rin.” Katanya. “Gak ada yang salah ko Gas disini.” Ucapku lirih.
Aku menghembuskan nafas yang panjang. “Kalau suatu hari nanti aku melihat kamu bahagia sama yang lain, jangan pernah lupain cerita tentang kita yah. Pernah ada aku dan kamu yang menjadi kita. Kita sama-sama pernah berbincang tentang cinta. Kita pernah saling merasakan apa itu bahagia, apalagi saat kamu ada di sisi aku. Kita pernah saling merasa takut kehilangan. Aku belum mau untuk melupakan kamu, walau itu harus aku lakukan. Biar waktu yang menjawab kapan aku akan melupakan semuanya.” Ucapku menahan tangis.
Dia menggenggam tangan kanan aku. Aku menatap genggaman tangan kita.
“Semoga ada yang lebih pantas mengisi ruang kosong di jemari kamu yah. Aku pasti akan rindu genggaman hangat tangan kamu. Semoga orang yang mengisi ruang kosong di jemari kamu, orang yang bisa membahagiakan kamu seutuhnya, tak pernah mengecewakan kamu, selalu ada disaat kamu membutuhkan. Ini bakalan jadi genggaman terakhir untuk jemari aku juga. Aku tidak bisa menikmati hangatnya genggaman kamu yang menjalar hangat di tanganku lagi. Bagas, I love you. Aku gak minta kamu untuk ucapin balik, tapi itu yang aku rasain sekarang. Aku kangen kamu. Tapi aku tahu aku tak berhak merindukan kamu lagi.” Ucapku padanya.
Dia hanya terdiam, yang aku rasakan adalah makin erat genggaman tangannya terhadap jemariku. Aku bisa merasakan hangatnya yang menjalar di tanganku. Aku merindukan itu. Aku ingin menangis sekarang. Hanya ingin menangis.
Di bawah sinar rembulan dan bintang-bintang, aku dan kamu yang dulu pernah menjadi kita, kini bersama, namun tanpa ada ikatan tanpa ada hubungan, tanpa ada status. Hanya memperjelas. Kita terbaring bersama saling menyelami rasa. Aku sudah jujur tentang semuanya. Namun dia hanya bisa terdiam. Aku bisa melihat di sudut matanya tergenang air, namun dia tak ingin mengeluarkannya di depanku. Dan aku hanya bisa menangis dalam hati. Menahan semuanya. Dan akan tumpah saat dia bangun berdiri saat dia tidak berada di sampingku lagi.
**
Bagas Dirgantoro. Dia yang mengisi hati dan hari-hariku selama kurang lebih 7 bulan. 7 bulan 2 hari tepatnya. Walau aku jalani hubungan dengannya hanya setengah tahun lebih, aku sangat menyayanginya. Entah alasan apa mengapa aku bisa begitu menyayanginya, tidak ada yang pernah tahu. Hanya aku. Aku rindu gelak tawanya yang biasanya mengisi hariku, aku rindu genggaman dan pelukan hangat dari tubuhnya. Dia amat biasa. Sangat biasa. Tapi dia mampu membuat hari ku menjadi luar biasa. Namun semuanya harus berakhir sampai disini. Bukan aku yang memutuskan, namun dia. Mungkin kali ini yang terbaik untuknya, aku hanya ingin dia bahagia, walau bukan bersamaku. Aku mengiyakan dan merelakan dia tak berada di sampingku lagi. Aku rela asalkan dia bahagia.
**
Dia menemaniku sampai jam 10 malam dari jam 7 malam. Yang terjadi hanya perbincangan biasa, namun jujur aku sangat merindukan perbincangan aneh yang dia ciptakan, dia masih mampu membuat aku tersenyum. Aku melihat ke arahnya saat dia sedang memejamkan mata. Aku melihat apa yang berubah dari setiap lekuk wajahnya. Dan aku masih saja menatap satu titik yang paling aku sukai dari wajahnya, yaitu matanya. Mata indah dengan bulu mata lentik. Jadi ingat pertama kali kami dekat dan pertama kali aku berbincang dengannya, pertama kali yang aku lihat adalah matanya. Dan aku menemukan keindahan disana. Dia masih terpejam mata. Aku buru-buru berpaling dari wajahnya. Aku takut dia sadar bahwa aku tengah menikmati matanya bagian yang aku sukai. Aku menatap ke awan dan bintang-bintang lagi. Setelah jam 10 dia bangkit dan pergi meninggalkan ku untuk tidur di tenda. Dan aku tetap tidur dibawah sinar bintang-bintang dan rembulan. Dia sempat mengajak ku untuk bergabung dengan yang lain untuk tidur bersama, namun aku menolaknya dan memilih untuk tetap di bibir pantai. Aku menangis. Airmata ini tumpah, aku tak sanggup menampungnya. Aku tak mendapat jawaban apakah dia masih menyayangiku atau tidak, hanya dia yang tahu. Namun aku percaya, dia masih sayang denganku, tapi dia tak ingin membuat aku lebih bersedih lagi dengan pengakuannya.
Besok aku akan meninggalkan pantai ini untuk kembali ke Bogor. Jam 11 malam aku baru tidur. Dan besok adalah hari terakhir aku melihat sunrise sendirian lagi.
Jam 4.30 aku terbangun, dan aku bangun. Aku melihat di sekitar, belum ada yang bangun. Mengapa orang-orang tidak bangun? Padahal kan sunrise itu bagus. Lagi-lagi aku menikmati sunrise sendirian lagi. Tapi aku menikmatinya. Saat sunrise mulai muncul dari ufuknya, aku serius mengamati. Tiba-tiba seseorang duduk di sebelahku. Bagas. Dia yang duduk di sebelahku.
“Bagus ya Rin sunrisenya?” ucapnya
“Banget Gas, aku suka banget. Dari kemarin aku menikmati sunrisenya tau.” Ucapku padanya
Lalu dia duduk tepat disebelahku.
“Ih, ko ga ngajak-ngajak sih Rin? Padahal kan aku juga pengen liat sunrise.” Katanya
Aku terkekeh. “Kan masih pada tidur, aku ga enaklah ngebangunin.” Ucapku
Dia diam. Aku terdiam. Kami sama-sama terdiam, menikmati sunrise, mengamati matahari dan perubahan awan gelap menjadi cerah, garis-garis hitam awan kian memudar.
“Akhirnya kesampean juga.” Ucapku memecah keheningan
“Kesampean apa Rin?” Tanya dia penasaran
“Menikmati sunrise bareng orang yang aku sayang, walaupun udah ga ada hubungan apapun. Dari dulu aku pengen banget nikmatin sunrise atau sunset bareng orang yang aku sayang. Dan sekarang udah tercapai, walaupun tanpa status. Tapi aku seneng.” Ucapku
Sekali lagi dia hanya mampu terdiam, dia tak mengucapkan satu patah katapun.
Sinar bintang dan rembulan sudah mulai hilang seiring matahari yang sudah meninggi. Aku bahagia menikmati sunrise dan sunset.
Saat matahari mulai meninggi banyak yang sudah bangun, dan menelan kekecewaan karena tidak menikmati sunrise. Dan banyak yang sudah bersiap-siap membereskan barang-barangnya dan bersiap-siap untuk pulang.
Dan aku menikmati pantai sekali lagi sebelum benar-benar meninggalkan pantai ini. Pantai indah, sejuk, tenang dan damai. Terima kasih telah mendengarkan bisikan hatiku yang aku sampaikan padamu di dalam hatiku. Semoga apa yang telah aku tuangkan ke pantai ini dapat berhembus mengikuti arah angin.



Cerita ini hanya fiktif belaka. Namanya juga lagi belajar nulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar